Tuesday 1 October 2019

Jadi Berakal Musik Religius Di Persimpangan Jalan


Perdebatan mengenai musik religius merupakan perdebatan klasik antara dua kubu ulama: antara kubu para sufi dan kubu ulama fikih. Perbedaan tersebut lebih disebabkan ole arah berpikirnya memang berbeda. Para ulama fikih memandang musik dengan memakai hadits-hadits dan pernyataan para Sahabat yang umumnya memang keras terhadap musik. Sedangkan  para sufi mempunyai pandangan filosofis yang sangat lunak atau bahkan akrab dengan musik. Merekalah yang kemudian menciptakan pedoman musik religius. Musik religius disponsori oleh dua tokoh sufi, Imam al-Ghazali dan Jalaluddin ar-Rumi. Maraknya musik religius didunia tarekat rata-rata berpedoman pda pendapat keduanya.

Dalam Ihya'nya Imam al-Ghazali, Imam Abu Hamid al-Ghazali mendukung musik religius, tapi dia menunjukkan berbagai catatan dari segala aspek, mulai dari apa yang dilantunkan, bagaimana cara melantunkan, apa alat musiknya dan siapa yang melantunkan... dan seterusnya. Meski mendukung musik religius, Imam al-Ghazali yang dikenal sebagai tokoh yang berhasil mendamainkan fikih dan tasawuf, tetap teguh memegang nash-nash Hadits yang mencela musik.

Dukungan Imam al-Ghazali terhadapa musik religi itu lantaran dia melihat kenyataan bahwa musik dikalangan orang-orang sufi memang betul-betul dipakai untuk memperkentak spiritual di hadapan Allah. Maka al-Ghazali hanya mengharamkan tiga alat musik yang tercantum dalam Hadits, yaitu seruling, gitar dan gendang dua sisi dan ditengah kecil. Untuk selain itu, maka tergantung dipakai untuk apa? Jika dipakai untuk kebaikan maka baik dan sebaliknya. Imam al-Ghazali tidak mengiaskan alat musik yang lain kepada tiga alat itu sebagaimana yang dilakukan oleh ulama fikih.

Pandangan al-Ghazali ini lebih moderat dibanding pandangan tarekat Maulawiyah (tarekat yang didirikan oleh Jalaluddin ar-Rumi wacana musik religi). Mereka justru menghalalkan penggunaan semua jenis alat musik sebagai kecenderungan spiritual mereka.

Al-Ghazali maupun ar-Rumi bekerjsama hanya melaksanakan reformulasi, proteksi terhadap musik religi bekerjsama sudah ada sebelum mereka berdua. Dala Ihya' Imam Ghazali menyebutkan bahwa petinggi-petinggi sufi ibarat Imam Junaid, Sari as-Saqathi dan Dzunnun al-Mishri mendengarkan lagu. Bahkan para Sahabat Rasulullah semisal Mughirah bin Syu'bah, Abdullah bin Ja'far dan Muawiyah juga mendengarkan lagu.

Madzhab empat seluruhnya menyatakan behwa musik dan lagu itu tidak baik, minimal menyampaikan makruh, Imam as-Syafi'i menyatakan bahwa kecenderungan terhadap musik menciptakan ummat islam lupa terhadapa al-Quran. Sedangkan proteksi teoritik terhdapa musik religi ini rata-rata tiba dari kelompok yang mempunyai kecenderungan tasawuf dan filsafat sekaligus. Ibnu Sina dianggap sebagai pendorong yang menyatakan bahwa mengdengarkan musik/lagu sanggup menjernihkan hati dan pikiran.

Ikhwan ash-Shafa, kelompok studi tasawuf-filsafat bawah tanah yang bangkit sebelum Imam al-Ghazali, merupakan kelompok ilmuwan pendukung musik religi. Mereka menyatakan bahwa musik mempunyai efek yang berbeda terhdapa hati dan perasaan, sanggup besar lengan berkuasa baik dan buruk. Pendapat kelompok sufi yang memakai ukuran perasaan itu (terutama al-Ghazali) dikritik dengan sangat kejam oleh Inbu Qoyyim al-Jauziyah. Ia menyatakan bahwa perasaan yang timbul lantaran lantunan musik ialah objek aturan bukan pemberi hukum. Maka baik dan buruknya perasaan tidak sanggup ditentukan oleh perasaan itu sendiri, tapi harus diukur dengan ukuran lain, yaitu syariat. Kritikan Ibnu Qayyim bekerjsama diarahkan secara lebih khusus terhdap konsep musik religi al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin. Karena dalam beberapa pernyataannya, Ibnu Qayyim mengutip hujjah al-Ghazali kemudian menunjukkan bantahannya.

Walhasil, mengenai musik religi itu terserah kepada kita masing-masing. Apa kita akan memakai logika tasawuf-filsafat atau meu menggunkan logika fikih. Ulama fikih (kecuali Ibnu Hazm) menganggap bahwa musik ialah sesuatu yang jelek menurut beberapa nash Hadits dan penafsiran beberapa ayat al-Quran. Para ulama tasawuf-filsafat memandang musik dengan memakai perasaan atau apa pengaruhnya terhadap hati, dengan beberapa catatan ibarat yang telah  disebutkan oleh al-Ghazali.

Jika kita membawa perdebatan musik religi antara fikih dan tasawuf itu kedalam masa sekarang, maka lebih baik kalu contohnya kita berhati-hati. Jika tidak betul-betul dibutuhkan sebaiknya tidak menggunakannya. Jikan memang dibutuhkan maka gunakanlah pendapat al-Ghazali yang memperbolehkan musik dengan beberapa catatan. Sebaiknya jangan hingga melampaui pendapat Imam al-Ghazali dalam mendukung musik, lantaran khawatir termasuk dalam Hadits Rasulullah: "Akan ada segolongan dari ummatku yang menghalalkan sutra, khamr, dan ma'azif (alat petik)" HR.Abu Dawud. Wallahu A'lam.

No comments:

Post a Comment