Sunday, 3 February 2019

Jadi Pintar Wajibkah Mengganti Shalat Sesudah Dibius Total Dalam Pandangan Fiqih


Wajibkah Mengganti Shalat Setelah Dibius Total Dalam Pandangan Fiqih. Datangnya penyakit ialah sesuatu yang tidak diharapkan. Namun ada orang-orang yang menerima peristiwa alam penyakit berat. Bahkan beberapa penyakit ini kadang mengharuskan pengidapnya untuk menjalani operasi.

Operasi pembedahan menurut skala tindakannya dibagi menjadi dua, yaitu operasi bedah kecil (minor) dan besar (mayor). Pada pembedahan minor, menyerupai pada khitan, menjahit sayatan luka, atau pengambilan kutil, pembiusan dilakukan ialah dengan pembiusan (anestesi) lokal. Pasien tetap dibiarkan sadar, namun hanya pada bab kecil tertentu dari tubuh yang dihilangkan rasa sakitnya.

Kemudian pada operasi besar, menyerupai pada operasi kelahiran caesar, amputasi, kerap diharapkan pembiusan sebagian anggota tubuh yang melumpuhkan anggota tubuh tertentu. Bahkan pada operasi terkait organ tubuh bab dalam dan skala yang besar, kerap dipakai pembiusan total yang menghilangkan kesadaran pasien.

Metode pembiusan total ini beragam, ada yang melalui pernapasan atau melalui pembuluh darah. Setiap metode dan jenis obat bius yang dipakai mempunyai indikasi dan cara kerjanya masing-masing dalam tubuh. Sebelum tindakan operasi besar, baik total atau sebagian anggota tubuh, kerap diberikan obat-obat premedikasi yang menawarkan rasa nyaman serta menyiapkan kondisi fisik pasien untuk operasi.

Obat bius yang menghilangkan kesadaran ini digolongkan sebagai obat hipnotik. Setelah dibius secara total, sesuai masa cara kerja obat maka dalam waktu tertentu pasien yang usai dioperasi diharapkan kembali tersadar, meskipun tetap harus dalam pengawasan supaya pulih kembali.

Dalam sekian jenis tindakan bedah besar ini, kerap memakan waktu berjam-jam, yang melampaui waktu-waktu shalat wajib. Bagaimana status shalat pasien yang ditinggalkan tersebut?

Para ulama kerap menggolongkan dilema ini terkait syarat wajib shalat, yaitu status pintar bagi mukallaf (orang yang mempunyai kewajiban suatu ibadah). Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab mengomentari tentang obat bius yang menghilangkan nalar ini.

يَجُوزُ شُرْبُ الدَّوَاءِ الْمُزِيلِ لِلْعَقْلِ لِلْحَاجَةِ كَمَا أَشَارَ إلَيْهِ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ شُرْبِ دَوَاءٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ وَإِذَا زَالَ عَقْلُهُ وَالْحَالَةُ هَذِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَضَاءُ الصَّلَوَاتِ بَعْدَ الْإِفَاقَةِ لِأَنَّهُ زَالَ بِسَبَبٍ غَيْرِ مُحَرَّمٍ

Artinya, “Diperbolehkan meminum (mempergunakan) obat yang menghilangkan nalar untuk kebutuhan tertentu. Jika nalar hilang lantaran obat tersebut, maka ia tidak harus mengganti shalatnya sesudah siuman, lantaran nalar yang hilang itu bukan lantaran sesuatu atau tindakan yang diharamkan.”

Dari keterangan di atas, maka penggunaan obat bius hipnotik sanggup dibenarkan atas indikasi tertentu, serta sang pasien tidak berkewajiban mengganti shalatnya sesudah siuman. Tindakan anestesi tersebut tentu harus berada dalam pengawasan dokter dan tenaga kesehatan lain.

Obat-obat bius ialah jenis-jenis obat yang perlu dipakai dengan petunjuk tenaga kesehatan profesional, serta tidak sanggup dipakai sembarang orang, alih-alih dijual bebas. Karena itulah penggunaan obat anestesi ini diperbolehkan dalam takaran tertentu dan indikasi yang ketat. Dengan demikian, seorang yang terlewat shalatnya akhir pembiusan total tidak wajib mengganti shalatnya. Wallahu a'lam.

Referensi: http://www.nu.or.id
Gambar: https://petunjuksehat.com

No comments:

Post a Comment