Tuesday 1 October 2019

Jadi Cerdik Bernasab Kepada Siapa Anak Hasil Perzinahan?


Bernasab Kepada Siapa Anak Hasil Perz!nahan?. Artikel ini merupakan klarifikasi artikel status anak z!na. Dimana dalam artikel tersebut menyatakan bahwa anak hasil perz!nahan sanggup bernasab kepada ayah kandungnya dengan syarat pernikahannya dengan ibu kandung hingga anak lahir harus mencapai 6 bulan tepat dengan kalender hijriyah (30 hari/bulan).

Di antara tujuan perberlakuan syariah yakni menjaga keturuan (Hifdz an-Nasl), sehingga diberlakukan aturan perkawinan dalam Islam. Dengan perkawinan status relasi nasab antara ayah-ibu dan anak menjadi jelas, dan bahkan menjadi solusi sosial. Sebab, kejelasan status berkaitan erat dengan relasi keduanya dalam hal perwalian, perawatan, pewarisan dan lain sebagainya.

Selanjutnya, bagaimana tinjauan fikih atas relasi nasab antara anak hasil z1na dengan orang tuanya? Namun sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu yang dimaksud anak z!na dalam syariah. Apakah harus ada hubvngan int!m, atau juga yang lain?

Menurut Wahbah az-Zuhaili, yang dimaksud anak z!na yakni anak yang dilahirkan melalui cara diluar ketetapan syara’ atau buah dari relasi haram. Sementara itu, dihukumi sama dengan z!na yakni pertumbuhan janin dari sperma yang dikeluarkan dengan cara tidak terhormat (Ghair Muhtaram). Dengan demikian, anak z!na yakni anak hasil hubvngan gelap, baik melalui perz!nahan atau proses yang tidak terhormat.

Menurut ‘Ali Sabramallisi, termasuk juga Imam Ramli, terhormat dan tidaknya sperma yang keluar tergantung ketika keluarnya. Jika keluarnya tidak terhormat, dalam arti melalui proses yang tidak boleh oleh syara’ maka sperma yang keluar dihukumi Ghair Muhtaram.

Sperma Ghair Muhtaram yakni menyerupai dikeluarkan dengan cara masturbasi atau alasannya dipermainkan oleh tangan selain isterinya. Jika sperma tersebut kemudian dimasukkan ke rahim rahim istrinya maka anak yang lahir tidak dinilai Muhtaram, sama dengan anak z!na. Hanya saja, dalam hal perkawinan kasus ini terjadi pengecualian.

Berbeda kalau dikeluarkan dengan cara halal, menyerupai dipermainkan oleh tangan istrinya, kemudian sperma yang keluar dimasukkan ke orang lain, maka sang anak dihukumi Muhtaram dan tetap bernasab pada pemilik sperma. Meskipun, dalam segi aturan perbuatan tersebut searti dengan z!na dikarenakan telah memasukkan sperma orang lain tanpa melalui ikatan nikah. Bagi yang memandang bahwa Muhtaram juga dari segi memasukkannya, tentu juga dihukumi Ghair Muhtaram.

Berkaitan dengan relasi nasab anak z!na termasuk juga sperma Ghair Muhtaram dengan pemilik sperma ini dalam madzhab Syafi’i tidak ada relasi nasab (Ghair Intisab) dengan ayah biologisnya. Ia hanya berjalur nasab dengan sang ibu dan ketententuan ini, berdasarkan Imam Rafi’i yakni Ijmak. Implikasi dari aturan ini, sang anak baginya menyerupai orang lain yang tidak terikat dalam hal perwalian, pewarisan dan bahkan boleh dinikahi kalau sang anak perempuan. Akan tetapi, hal ini makruh dilakukan alasannya keluar dari khilaf ulama yang melarangnya.

Namun demikian, dalam kasus sperma Ghair Muhtaram, kalau dimasukkan ke rahim istrinya, putrinya, ibunya atau ke saudarinya, anak yang keluar tidak boleh dikawin. Larangan ini, bukan dari unsur nasab sehabis pengeluaran sperma yang Ghair Muhtaram, melainkan dari unsur relasi para wanita tersebut dengan dirinya yang mempunyai kaitan yang sama dengan kasus sesuan dalam cuilan Radha’.

Contoh kasus, seorang laki-laki terjadi relasi z!na dengan seorang perempuan, kemudian sperma pada wanita tersebut dikeluarkan dan dimasukkan ke rahim isteri laki-laki tersebut. Dari sudut anak hasil sperma Ghair Muhtaram memang tidak tidak boleh mengawini anak wanita yang keluar dari perut sang isteri, tetapi dari sudut bahwa ia yakni isterinya, maka ia tidak halal dikawin alasannya sama dengan anak sesuan.

Hukum dalam madzhab Maliki sama dengan madzhab Syafi’i. Yang berbeda yakni pandangan madzhab Hanbali dan Hanafi yang menyatakan bahwa perz!nahan sanggup tetapkan relasi Mushaharah (Mertua). Implikasinya, ayah biologis haram mengawini putri hasil perbuatan z!na tersebut. Bahkan, aturan ini menyebar ke beberapa orang terdekatnya. Jika ada seseorang berz!na maka anak hasil z!na berikut ibu wanita yang diz!nahi tidak boleh dikawin. Jika perz!nahan terjadi dengan ibu mertuanya, maka sang istri haram baginya selamanya.

Dalam hal ini, berdasarkan madzhab Hambali, tidak ada perbedaan apakah perz!nahan tersebut melalui Qubul atau Dubur, sehingga umpama terjadi liwath dengan anak laki-laki maka juga tetapkan keharaman: Pewathi’ haram mengawini ibu laki-laki dan anaknya, demikian pula bagi laki-laki tersebut haram mengawini ibu dan anak pewathi’. Lebih ekstrim lagi, pendapat Hanafiyah yang menyampaikan bahwa Musharahah sanggup terjadi melalui semi z!na, menyerupai menc!um dan memegang dengan syahwat.

Meskipun demikian, dalam aturan waris anak z!na tetap tidak menerima hak waris dari ayah biologisnya. Ia hanya menerima warisan dari sang ibu, berikut kerabatnya dari jalur ibu. Hukum ini menjadi ijmak madzhab empat. Alasannya, perwarisan yakni nikmat yang diberikan Allah bagi andal waris, sehingga tidak boleh tejadi melalui relasi lacur (Jarimah). Demikian pula, kalau anak z!na meninggal, warisannya jatuh ke ibu berikut kerabatnya. Hukum ini, tentu sama dengan pandangan Syafi’iyah dan Maliki, sehingga terbilang ijmak.

Dari pemaparan di atas, setidaknya kita tahu bahwa perz!nahan berimplikasi pada problem yang sangat besar, baik secara agama maupun sosial. Korban utama dalam perz!nahan yakni anak, walaupun mereka tidak melaksanakan dosa, tetapi terkena imbasnya. Solusi tepatnya yakni melalui ijab kabul yang sah sehingga semua problem di atas menjadi selesai.

Semoga Artikel Bernasab Kepada Siapa Anak Hasil Perz!nahan? ini bermanfaat.

No comments:

Post a Comment