Saturday 10 August 2019

Jadi Berakal 4 Faktor Penyebab Terjadinya Nikah Siri Menjadi Galau


Fenomena ijab kabul di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi lantaran beberapa factor yang melatarbelakanginya.

Tentu saja untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan faktor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya ijab kabul sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri sanggup disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat


Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi; belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut.

Permasalahannya ialah, mengapa begitu rendah kesadaran aturan sebagian masyarakat kita, dan bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kesadaran aturan bagi mereka, semua itu tentu merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah aturan di Indonesia belum memiliki kesadaran aturan yang tinggi, hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat itu sendiri melainkan juga disebabkan kurang maksimalnya tugas dan upaya lembaga pemerintahan yang ada, dalam hal ini Kementerian Agama dan Pemda setempat kurang intensif memperlihatkan edukasi terhadap masyarakat wacana betapa pentingnya mencatatkan perkawinan mereka.

Di wilayah Pelosok terutama daerah pedalaman dan terpencil, rendahnya kesadaran aturan masyarakat akan pentingnya mencatatkan perkawinan sanggup kita lihat di beberapa desa yang dominan penduduknya muslim, ternyata ada banyak masyarakat yang perkawinannya tidak dicatat oleh KUA setempat. Hal ini sanggup diketahui dengan jelas, dengan banyaknya masyarakat yang mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapat legalisasi perkawinan mereka secara aturan Negara.

Banyaknya kasus permohonan isbat nikah tersebut tidak terlepas dari perjuangan pimpinan Pengadilan Agama setempat yang telah berupaya mengadakan penyuluhan aturan terutama di daerah kecamatan tertentu yang dominan masyarakatnya beragama Islam. Melihat antusiasme masyarakat untuk mendapat pengesahan nikah mereka di Pengadilan Agama sehabis memperoleh pemahaman aturan tersebut, memperlihatkan bahwa kesadaran aturan masyarakat justeru mulai bangkit.

Diharapkan dimulai dari meningkatnya kesadaran tersebut merupakan awal yang baik bagi terciptanya kesadaran masyarakat secara keseluruhan di daerah daerah tersebut. Karena dengan kesadaran ini setidaknya jikalau mereka menikahkan anak-anaknya nanti tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama yang pernah mereka lakukan.

Dengan demikian, rendahnya tingkat kesadaran aturan masyarakat ibarat itu perlu ditingkatkan melalui acara penyuluhan aturan baik secara formal yang dilakukan oleh lembaga instansi terkait maupun secara informal melalui para penceramah di lembaga pengajian majelis ta’lim dan lain sebagainya.

2. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum


Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa ndeso terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus ijab kabul Syekh Puji dengan perempuan di belum dewasa berjulukan Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan tumpuan kasatmata perilaku apatis terhadap keberlakuan aturan Negara. Dari pemberitaan yang ada, sanggup kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, ijab kabul tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan kedua, dia tidak mau mengajukan permohonan keringanan kawin meskipun sudah terang calon isteri tersebut masih di bawah umur.

Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh seorang public figure, sungguh merupakan kendala besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh lantaran itu penanganan secara aturan atas kasus yang menimpa Syekh Puji yaitu sempurna semoga tidak menjadi preseden yang jelek bagi bangsa Indonesia yang ketika ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum.

3. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas


Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta aturan dan/atau norma aturan tersebut bersama-sama sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan lantaran pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.

Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah menciptakan RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang hingga ketika ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai hukuman yang terang bagi yang melanggarnya.

Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai bahaya pidana bagi yang melanggarnya.

Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatan perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling usang 6 (enam) bulan.
Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai eksekusi kurungan paling usang 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melaksanakan acara perkawinan dan bertindak seakan-akan sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling usang 3 (tiga) tahun.

Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya ijab kabul sirri.

4. Ketatnya Izin Poligami


UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memperlihatkan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melaksanakan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melaksanakan poligami hanrus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:

  • isteri tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  • isteri mendapat cacat tubuh atau penyakit yang tidak sanggup disembuhkan;
  • isteri tidak sanggup melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)

Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:

  • adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
  • adanya kepastian bahwa suami bisa menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
  • adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;

Yang dimaksud bisa menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya yaitu sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya yaitu sangat subjektif sifatnya, sehingga evaluasi terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.

Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut sanggup menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” yaitu perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau memakai izin palsu.

Ketatnya izin poligami juga mengakibatkan yang bersangkutan lebih menentukan nikah di bawah tangan atau nikah sirri lantaran pelangsungan (tata cara) ijab kabul di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.

Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk sanggup poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 wacana Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi Tentara Nasional Indonesia harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.

Sulit dan lamanya proses serta kendala berupa birokrasi dalam pinjaman izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diperlukan jadi tumpuan dan teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.

Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu (poligami: Pen) memperlihatkan menurun drastis namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:

  • tidak adanya kesadaran aturan yang tinggi dari masyarakat;
  • bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu lantaran kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu usang dan sulit;
  • tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;

Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:

  • hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, perempuan simpanan;
  • bagi mereka yang beragama Islam, melaksanakan poligami tanpa pencatatan nikah.

Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir memperlihatkan bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu faktor timbulnya ijab kabul di bawah tangan, atau ijab kabul yang tidak dicatat, alias nikah sirri.

No comments:

Post a Comment