Tuesday, 25 August 2020

Lebih Berilmu Berani Jujur Dalam Ujian Nasional, Itu Hebat…!

Sahabat Edukasi yang berbahagia…

Kejujuran akan selalu membawa kemujuran pada akhirnya. Tak terkecuali dalam pelaksanaan ujian nasional tahun 2015 kali ini, di mana kelulusan tidak lagi berdasarkan nilai UN akan tetapi ditentukan oleh sekolah. 

Terkait dengan berani jujur dalam ujian, berikut editorial yang admin share dari situs Kemdikbud RI selengkapnya, semoga bermanfaat faktual bagi kita semua… Aamiin…

Ada kabar baik dalam pelaksanaan ujian nasional siswa sekolah menengah atas (SMA) kali ini. Apresiasi patut diberikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Salah satu poin yang menarik, ujian tidak mutlak menjadi penentu kelulusan. Ini melegakan, alasannya ialah memang tidak mungkin meringkas performa siswa selama tiga tahun masa berguru hanya dalam tiga hari ujian.

Ujian kali ini juga menerapkan terobosan yang membesarkan hati. Ada 585 sekolah dari ratusan ribu sekolah di seluruh Indonesia yang menyelenggarakan ujian secara online, dengan koneksi Internet. 

Ujian online jauh lebih hemat, tanpa jutaan lembar kertas, tanpa ongkos distribusi. Dan, yang lebih penting, ujian online juga lebih aman. Murid dibekali kata kunci (password), dan hanya ia sendiri yang dapat membuka naskah ujian. Terobosan ini layak diperluas hingga ke seluruh Indonesia, dengan syarat perbaikan infrastruktur pendukung.

Sayangnya, di tengah kemajuan itu, tetap saja kebocoran terjadi. Ftederasi Guru Seluruh Indonesia (FGSI) melaporkan adanya jual-beli kunci soal ujian dengan nilai Rp 14-21 juta. Juga dilaporkan ada guru yang mengunduh 25 jenis soal ujian melalui lemari virtual Google Drive. Kendati jumlah variasi soal ujian ada 11.730 paket dan yang bocor di Google Drive “hanya” 25 jenis paket (0,0021 persen), tetap saja kebocoran ini mengecewakan.

Benar, secara keseluruhan, FGSI juga mendeteksi turunnya kuantitas kecurangan. Tahun ini jumlah laporan yang diterima FGSI ada 91 kasus, jauh menurun dibanding tahun lalu, yang mencapai 304 laporan. Kecurangan tertinggi, berdasarkan data FGSI, terjadi pada 2013 dengan 1.035 laporan kecurangan ujian nasional.

Kebocoran ini menerangkan bahwa, apa pun sistemnya, baik dengan kertas maupun digital, tetap ada risiko bocor. Seketat apa pun pengawasan, distribusi dikawal puluhan batalion polisi, misalnya, tidak mungkin menciptakan kebocoran menjadi nol. Sistem dan metode dapat dibentuk super-canggih, tapi insan di balik sistem yang harus ditingkatkan kualitasnya. Pengawasan harus berlipat-lipat.

Mata rantai ujian nasional memang panjang. Semua yang terlibat, dari pem¬buat soal, pengawas, guru, kepala sekolah, hingga pegawai percetakan, berpotensi menjadi pembocor. Karena itu, penegakan aturan menjadi kunci mutlak untuk menegaskan bahwa negara ini tidak menenggang kecurangan ujian. Tak dapat kita biarkan murid-murid sekolah merajut hari depan bangsa ini melalui jalan curang. Siapa pun yang terbukti menjadi biang kerok pembocor harus dieksekusi berat.

Baik pula kita dorong rencana Menteri Pendidikan Anies Baswedan untuk menerapkan indeks kejujuran. Sejauh ini gres ada 52 kabupaten/kota (12,5 persen dari 400-an kabupaten/kota) dengan indeks kejujuran 90. Ini berarti lebih banyak didominasi siswa di wilayah itu menjalani ujian dengan jujur.

Jangkauan indeks kejujuran dan integritas ini harus diperluas di dunia pendidikan. Caranya, antara lain, dengan memberi penghargaan kepada sekolah yang berani tertular dan menularkan virus penting: virus berani jujur.

No comments:

Post a Comment